Total Tayangan Halaman

Jumat, 30 Mei 2014

JADI SAKSI PERSELINGKUHAN IBU TEMANKU



Kejadian yang paling tak bisa kulupakan adalah ketika umurku 13 tahun. Waktu itu aku masih duduk di bangku SMP di sebuah desa di Gombong, Jawa Tengah.

Salah satu teman yang akrab denganku adalah Warsito (nama samaran). Selain karena rumah kami berdekatan, juga karena ia gemar bermain sepakbola seperti halnya aku. Rumah kami berdekatan bukan berarti berdampingan, karena jarak antara satu rumah dengan rumah lain bisa sampai 100 meter. Maklum di desa. Kebanyakan setiap rumah berhalaman luas. Ada yang dijadikan kebun buah-buahan, ada juga yang hanya ditumbuhi pepohonan liar.

Bapaknya Warsito, sebut saja namanya pak Karto, bekerja sebagai mandor pabrik di Gombong. Karena jaraknya jauh, ia pulang ke desa seminggu sekali, sedangkan ibu Warsito, sebut saja namanya bu Warsih, bekerja sebagai guru SD honorer. Warsito adalah anak tunggal.

Warsito tak hanya gemar bermain sepakbola. Ia sudah keranjingan, hingga jadi malas belajar. Padahal sebenarnya ia tergolong pandai. Bila siang hari pulang sekolah ia tidak boleh keluyuran oleh ibunya, tapi harus mengulang pelajaran yang hari itu diajarkan. Ia baru boleh keluar rumah kalau sudah sore.

Untuk memenuhi nafsu gila bolanya, Warsito membuat sebuah jalan rahasia, yang berupa sebuah gedek (dinding bambu) di bawah meja belajarnya yang bisa digeser dan tembus ke bekas kandang kambing yang diubah fungsinya jadi gudang kayu-kayu bekas dan genteng. Kandang tersebut berada di bagian belakang rumahnya. Begitu tahu ibunya tidur siang di kamarnya yang ada di bagian depan rumah, ia segera kabur melalui gedek berukuran sekitar 70 cm kali 50 cm itu.

Hanya aku yang diberitahu oleh Warsito perihal jalan rahasia itu. Agar tak terlihat, gedek itu ditutupi dengan tumpukan buku pelajaran Warsito. Ia membuatnya sejak tiga tahun sebelumnya dan tak pernah ketahuan.

Suatu hari, sepulang sekolah kudatangi rumah Warsito lewat belakang rumahnya dan langsung menyelinap di antara kayu-kayu bekas yang ada di bekas kandang kambing itu. Masuknya dengan tiarap dan menggeser tubuh pelan-pelan di atas tanah seperti tentara berlatih perang.

Begitu sampai di gedek penutup lubang dengan hati-hati kugeser. Saat itulah kudengar suara “aneh”. Suara perempuan mendesah-desah dan derit tempat tidur yang bergerak-gerak. Aku yakin itu suara bu Warsih saat kudengar ia mengatakan “terus, mas” dengan nafas terengah-engah beberapa kali. Karena penasaran, kugeser lagi gedek itu hingga terbuka lebih lebar. Biasanya yang kulihat di antara tumpukan buku adalah kaki Warsito yang duduk di depan meja belajar atau belajar sambil berbaring di tempat tidur. Kali ini yang tampak olehku adalah kaki seseorang menghadap ke tempat tidur. Kakinya berada di lantai dan tertutup oleh celana coklat yang melorot.

Karena tempat tidur Warsito berada di dinding seberang dinding yang ada lubang rahasianya, aku jadi bisa melihat kejadian di tempat tidur Warsito dengan jelas, walaupun agak tertutup tumpukan buku. Ternyata kaki itu milik seorang laki-laki yang sedang “mendorong maju-mundur” tubuh seorang perempuan di hadapannya yang duduk di tepi tempat tidur. Kedua tangannya memeluk erat tubuh laki-laki itu, sementara kaki-kakinya mengangkang. Seketika aku aku bisa melihat kalau yang duduk itu adalah bu Warsih. Ia tak pakai apa-apa alias telanjang bulat. Kuamati-amati laki-laki itu yang tak lain adalah guruku waktu SD. Namanya pak Suko (bukan nama sebenarnya). Ia mengajar kesenian dan olah raga. Jantungku berdetak kencang melihat apa yang mereka lakukan.

Aku takut sekali waktu itu. Dengan tangan gemetar kugeser gedek itu ke posisi semula dan pelan-pelan aku merayap mundur kembali ke gudang. Pikiranku kacau balau, bingung tak tahu harus berbuat apa. Lalu kuputuskan untuk pergi ke lapangan, siapa tahu Warsito sudah ada di sana.

Ternyata Warsito tak ada di antara anak-anak yang bermain sepakbola. Begitu melihatku, mereka yang juga teman-temanku meneriakiku untuk ikut bermain juga. Tapi aku enggan. Aku masih memikirkan kejadian di kamar Warsito. Sambil teriak kutanyakan tentang Warsito pada temanku yang bertugas menjadi kiper. Katanya, Warsito tadi lewat lapangan dan akan pergi ke warung dulu karena disuruh ibunya. Karena jalan dari warung le rumah Warsito melewati lapangan, maka kutunggu ia di bawah pohon dekat gawang di pinggir lapangan.

Beberapa saat kemudian di kejauhan tampak olehku Warsito berlari-lari kecil. Tangannya menenteng sebuah bungkusan. Segera kuhampiri Warsito. Ternyata ia disuruh oleh ibunya untuk beli kue buat suguhan pak Suko yang datang bertamu ke rumahnya. Aku pun mengikuti langkah Warsito menuju rumahnya.

Sampai di depan rumah Warsito ada sebuah sepeda motor yang kutahu milik pak Suko. Jantungku kembali berdebar saat Warsito mengajakku masuk ke rumahnya. Apa jadinya kalau perbuatan pak Suko dan ibunya dipergoki oleh Warsito? Bisa geger desaku.

Ternyata dugaanku salah. Pak Suko sudah ada di ruang tamu. Ia menyapaku dan Warsito. Warsito langsung menuju ke belakang rumah untuk menemui ibunya, sementara aku duduk menemani pak Suko. Bibirku terasa kaku saat ia mengajakku berbincang-bincang.

Tak lama kemudian bu Warsih muncul diikuti oleh Warsito. Begitu bu Warsih menghampiri kami, pak Suko langsung berpamitan pulang. Anehnya, saat Warsito minta ijin untuk bermain sepakbola, ibunya langsung mengijinkan. Padahal biasanya marah. Lebih aneh lagi, kue-kue yang dibeli Warsito tidak disuguhkan kepada pak Suko. Dengan riang Warsito berlari dan kuikuti dari belakang.

Seiring dengan bertambahnya waktu, pengetahuanku tentang hal-hal seperti yang dilakukan oleh pak Suko dan bu Warsih yang seharusnya boleh dilakukan oleh suami istri yang sah. Itu namanya nyeleweng (dulu istilah selingkuh belum ada). Aku tak tahu apakah sampai saat aku mengerti itu (saat aku kelas 3 SMP) mereka masih melakukan perbuatan mesum seperti ketika kupergoki atau sudah tidak. Yang jelas, keadaan di desaku masih adem-ayem saja.

Keributan baru terjadi ketika aku sudah SMA. Aku tak tahu kejadian pastinya, karena waktu itu aku sedang sekolah. Tapi dari rumor yang kudengar, bu Warsih tertangkap basah sedang berdua dengan pak Suko di sebuah hotel diGombong. Yang menangkap basah adalah pak Karto sendiri bersama beberapa warga desa.

Konon kabarnya, banyak warga desa yang beberapa kali melihat pak Suko membonceng bu Warsih dengan sepeda motornya. Terakhir, ada warga berpapasan dengan pak Suko dan bu Warsih di jalan desa menuju Gombong dan menanyakan tujuan mereka. Pak Suko menjawab kalau hendak ke kantor Depdikbud (sekarang Diknas) mengantar bu Warsih mengurus pengangkatan sebagai guru tetap.

Karena merasa curiga, warga tersebut, sebut saja namanya pak Paidi, mendatangi tempat kerja pak Karto. Untuk memastikan kebenarannya, pak Karto ditemani pak Paidi pergi ke kantor Depdikbud Gombong. Di sana mereka tak menemukan pak Suko dan bu Warsih. Dari kantor Depdikbud, pak Karto pulang. Ternyata di rumah pun bu Warsih tak ada.

Merasa ada gelagat yang tak baik, pak Karto mengatur siasat dengan beberapa warga desa. Pak Karto minta kepada warga desa untuk mengawasi rumahnya.

Sekitar tiga minggu setelah itu, begitu melihat pak Suko datang ke rumah Warsito dan kemudian pergi dengan membonceng bu Warsih, salah satu warga desa menuju kantor kepala desa untuk menelepon pak Karto di kantornya untuk stand by, sementara beberapa lainnya mengikuti pak Suko dan bu Warsih.

Begitu melihat kedua pasangan dimabuk asmara itu masuk ke hotel, warga yang bertugas mengikuti segera menelepon pak Karto untuk datang ke hotel itu. Benar saja. Saat pintu kamar didobrak, pak Suko dan bu Warsih sedang duduk di ranjang. Keduanya telanjang. Karuan saja pak Karto murka. Ia perintahkan warga desa mengarak pasangan mesum itu ke desa.

Pak Kades dan seluruh perangkat desa turun tangan. Mereka meneruskan perkara itu ke instansi di mana pak Suko dan bu Warsih bernaung, yaitu Depdikbud.

Sebagai teman, aku sangat iba pada Warsito. Aku mencoba menemuinya, tapi ia tak pernah ada di rumahnya setelah kejadian itu. Ada yang bilang kalau ia dibawa bapaknya ke Jakarta, ada yang bilang ke desa bapaknya di Temanggung. Beritanya simpang siur. Yang jelas, rumahnya kosong. Tak sampai 3 bulan kemudian, rumah itu sudah berganti penghuni baru. Mungkin pak Karto telah menjualnya.

Akan halnya pak Suko dan bu Warsih, kudengar mereka dipecat dari pekerjaannya. Sebagaimana Warsito dan bapaknya, kedua pasangan selingkuh itu tak diketahui lagi keberadaannya setelah itu. Kabar yang beredar mengatakan kalau mereka tak menjalani hukuman penjara karena pak Karto mencabut pengaduannya ke polisi. Entah kenapa, tapi hal itu membuat warga kecewa. (*)
Posted By: Unknown

JADI SAKSI PERSELINGKUHAN IBU TEMANKU

Share:

Post a Comment

Facebook
Blogger

1 komentar:

Follow Us

About Us

Advertisment

Like Us

© ONLY 17+ All rights reserved | Theme Designed by Seo Blogger Templates